Mungkinkah Perekonomian Tanpa Riba?
Riba telah menjadi pembahasan yang sangat
banyak sekali diperbincangkan dan diperdebatkan di era sekarang. Riba sering
dikaitkan dengan bunga. Hal itu tepat sekali, namun bentuk riba itu tidak hanya
berupa bunga, melainkan banyak sekali bentuknya.
Menurut
Keputusan Rapat Komisi Fatwa MUI, Bunga (interest/fa’idah) adalah
tambahan yang dikenakan dalam transaksi pinjaman uang (al-qardh) yang
diperhitungkan dari pokok pinjaman tanpa mempertimbangkan pemanfaatan/hasil
pokok tersebut, berdasarkan tempo waktu, diperhitungkan secara pasti di muka,
dan pada umumnya berdasarkan persentase.
Sedangkan
Riba adalah tambahan (ziyadah) tanpa imbalan (بلا عوض) yang terjadi karena penangguhan dalam
pembayaran (زيادة الأجل) yang diperjanjikan
sebelumnya, (اشتُرِطَ مقدماً). Dan inilah yang
disebut riba nasi’ah.
Bunga
merupakan hal yang penting dalam perekonomian, karena bunga
telah menentukan
hampir di setiap kegiatan ekonomi, seperti kegiatan konsumsi, tabungan,
investasi, kesempatan kerja, ekspor-impor, dan lain-lain. Pada kegiatan
konsumsi misalnya, bunga dapat mempengaruhi tingkat konsumsi konsumen. Ketika
suku bunga tinggi, maka permintaan dana pinjaman akan menurun yang menyebabkan
kemampuan konsumen dalam melakukan konsumsi juga menurun. Bunga juga telah
menjadi instrumen kebijakan moneter suatu negara. Suku bunga dijadikan tolak
ukur kegiatan perekonomian suatu negara, sehingga berimbas pada kegiatan
perputaran arus keungan perbankan, inflasi, dan investasi. Semua ini
menunjukkan bahwa bunga telah memainkan peran yang penting dalam perekonomian.
Terdapat
beberapa teori yang mendukung pentingnya bunga dalam perekonomian seperti
berikut ini.
Time-preference theory. Konsep dasar time-preference
theory adalah pernyataan Bohm Bawerk, bahwa barang
sekarang lebih bernilai dari pada barang yang akan datang.
Barang yang akan datang hanya mempunyai kemungkinan untuk dapat digunakan
di masa yang akan datang. Sedangkan, barang sekarang mempunyai kemungkinan
yang sama untuk digunakan sekarang atau digunakan di masa yang akan datang.
Implikasi dari pernyataan ini adalah agar orang bersedia meminjamkan
barang atau uangnya sekarang untuk diterima kembali di masa yang akan datang.
Nilai uang yang akan diterima di masa yang akan datang tersebut harus
ditambah agar nilai uang yang akan datang tersebut tidak lebih rendah dari pada
nilai uang sekarang. Tambahan nilai uang tersebut kemudian
diinstitusionalisasikan dalam bentuk bunga.
Barang yang akan datang hanya mempunyai kemungkinan untuk dapat digunakan
di masa yang akan datang. Sedangkan, barang sekarang mempunyai kemungkinan
yang sama untuk digunakan sekarang atau digunakan di masa yang akan datang.
Implikasi dari pernyataan ini adalah agar orang bersedia meminjamkan
barang atau uangnya sekarang untuk diterima kembali di masa yang akan datang.
Nilai uang yang akan diterima di masa yang akan datang tersebut harus
ditambah agar nilai uang yang akan datang tersebut tidak lebih rendah dari pada
nilai uang sekarang. Tambahan nilai uang tersebut kemudian
diinstitusionalisasikan dalam bentuk bunga.
Liquidity Preference Theory. Teroi ini dikemukan oleh Keynes yang mengatakan bahwa orang lebih suka memegang aset yang likuid
karena hanya aset yang likuid yang dapat
segera digunakan untuk transaksi, berjaga-jaga, dan spekulasi.
Implikasinya bahwa orang hanya bersedia merubah asetnya dalam bentuk
tabungan yang dipinjamkan kepada pihak lain kalau orang tersebut diberi
konpensasi yang berupa bunga, karena dengan mendapatkan bunga maka aset
orang tersebut bertambah.
Implikasinya bahwa orang hanya bersedia merubah asetnya dalam bentuk
tabungan yang dipinjamkan kepada pihak lain kalau orang tersebut diberi
konpensasi yang berupa bunga, karena dengan mendapatkan bunga maka aset
orang tersebut bertambah.
Interest and Deposit Mobilization. Ekonom kapitalis berpendapat
bahwa pendapatan setelah pajak dan konsumsi mesti
didepositokan atau ditabung dengan diberi insentif finansial
berupa suku bunga. Imbalan suku bunga tersebut merupakan penghasilan bagi
penabung. Dana tabungan in dibutuhkan untuk investasi. Investasi sangat
diperlukan untuk menghasilkan barang dan jasa dan pendapatan. (Mankiw, 2003). Dan masih banyak teori lain yang membuktikan pentingnya bunga dalam perekonomian.
berupa suku bunga. Imbalan suku bunga tersebut merupakan penghasilan bagi
penabung. Dana tabungan in dibutuhkan untuk investasi. Investasi sangat
diperlukan untuk menghasilkan barang dan jasa dan pendapatan. (Mankiw, 2003). Dan masih banyak teori lain yang membuktikan pentingnya bunga dalam perekonomian.
Sudah
selayaknya bagi kita, sebagai umat muslim, taat dan patuh ketika Allah SWT dan
Rasul-Nya ketika memberikan larangan akan sesuatu terhadap manusia. Meskipun
bunga sangat menggiurkan, riba sangat dilarang dalam Islam, hal itu dapat
dilihat dari Firman Allah SWT mengenai riba berikut:
الَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبَا لَا يَقُومُونَ
إِلَّا كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ ذَلِكَ
بِأَنَّهُمْ قَالُوا إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا وَأَحَلَّ اللَّهُ
الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا فَمَنْ جَاءَهُ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّهِ فَانْتَهَى
فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى اللَّهِ وَمَنْ عَادَ فَأُولَئِكَ أَصْحَابُ
النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ
“Orang-orang yang makan (mengambil) riba, tidak dapat
berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan lantaran
(tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itudisebabkan mereka
berkata (berpendapat) bahwa sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba.
Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang
yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari
mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang
larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil
riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka, mereka kekal di
dalamnya.” (QS. Al-Baqarah [2]: 275).
يَآأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللهَ وَذَرُوا
مَابَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِن كُنتُم مُّؤْمِنِينَ {278} فَإِن لَّمْ تَفْعَلُوا
فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ مِّنَ اللهِ وَرَسُولِهِ وَإِن تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُءُوسُ
أَمْوَالِكُمْ لاَ تَظْلِمُونَ وَلاَ تُظْلَمُونَ {279}
“Hai orang-orang yg beriman, bertaqwalah kpd
Allah & tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yg
beriman. * Maka jika kamu tdk mengerjakan (meninggalkan sisa riba) maka
ketahuilah bahwa Allah & Rasulnya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat
(dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tdk menganiaya &
tdk (pula) dianiaya.” (QS. Al-Baqarah: 278-279).
Larangan terhadap riba memang sudah jelas adanya, akan tetapi
dalam kenyataan riba telah memasuki hampir di semua aktivitas kehidupan manusia,
khususnya bunga. Cukup sulit untuk bisa menghindarinya secara penuh karena
pasti akan banyak godaan-godaan untuk melalaikan perintah Allah SWT untuk jauh
dari riba apabila iman kita tidak kuat. Oleh karena itu, perekonomian tanpa
riba adalah sesuatu yang pasti kita impikan sekarang ini, bukan? Tetapi impian
ini mengarah kepada suatu pertanyaan besar yang sebenarnya sangat mendasar?
Yaitu, apakah perekonomian tanpa riba itu mungkin terjadi?
Pertanyaan
seperti itu pasti tidak mudah untuk dijawab, melainkan perlu adanya kajian terus
menerus untuk menghilangkan jejak riba dalam perekonomian, karena seperti yang
dijelaskan di awal, bunga telah memainkan peran yang penting dalam
perekonomian. Apabila benar bahwa riba dapat dihapuskan, lalu apa alternatif
yang dapat menggantikan peran bunga dalam perekonomian?
Pasti
ada alternatif untuk mengganttikan peran bunga dalam perekonomian. Islam pun
sudah menawarkan alternatif untuk menggantikannya. Islam menawarkan tiga alternatif dari pinjaman
yang didasarkan bunga, yaitu: qard hasan, jual beli, dan pendanaan yg
berkeadilan (equity financing). (Ahmad, 1989).
Qardhul Hasan (QH) dan Qardh (QR) adalah Akad
pinjaman dana oleh nasabah kepada bank syariah tanpa imbalan dengan
kewajiban pihak nasabah mengembalikan pokok pinjaman secara sekaligus atau
cicilan dalam jangka waktu tertentu. Qardhul Hasan dananya
bersumber dari infaq dan shadaqah, sedangkan Qard
umum dan Qard Haji bersumber dari modal atau laba bank.
Jual Beli. Bai’
murabahah merupakan mekanisme jual beli alternatif pengganti dari sistem kredit
(utang) yang biasa dipakai oleh perbankan konvensional berikut sistem riba
utang (riba nasiah). Produk murabahah merupakan produk pembiayaan (funding)
yang paling banyak diterapkan oleh Perbankan Syariah dalam berbagai
aktivitasnya.
Murabahah diterapkan melalui mekanisme jual
beli barang secara cicilan (muajjalan) dengan penambahan margin keuntungan
bagi bank. Margin ini sifatnya adalah tetap (konstan), meski terdapat
keterlambatan cicilan dari pihak yang diberi modal oleh perbankan. Hal inilah
yang membedakannya dengan sistem bunga pada perbankan konvensional yang akan selalu
bertambah seiring berjalannya waktu. Tetapi, kemudian ada beban ta’zir (denda)
yang nantinya akan diberlakukan oleh perbankan syariah kepada nasabah yang
dimodali tersebut sebagai akibat dari keterlibatannya.
Pendanaan
yang berkeadilann. Dalam
pendanaan yang berkeadilan, pihak yang mendanai berbagi keuntungan dan kerugian
dari hasil usaha dengan pihak yang didanai. Pendanaan ini dapat dilakukan untuk
periode waktu tidak terbatas seperti dalam kasus kepemilikan saham atau periode
waktu terbatas (pendek, menengah, atau panjang) seperti dalam kasus pinjaman.
Ada tiga saluran pendanaan yang berkeadilan, yaitu: mudharabah, syirkah, dan
kepemilikan saham.
Dalam kasus
kepemilikan saham, pihak pemberi dana hanya menyediakan dana tetapi tidak
melakukan usaha atau mengevaluasi kegiatan usaha. Pemilik saham menerima
keuntungan berupa dividen sesuai dengan proporsi kepemilikan sahamnya bila
usaha untung dan menangung kerugian sesuai dengan proporsi kepemilikan sahamnya
bila usaha rugi.
Untuk menghilangkan bunga dalam perekonomian dapat dilakukan dengan
cara-cara di atas. Sebenarnya agar perekomian kita bisa terbebas dari riba,
perekomian yang kita jalani harus sesuai dengan syariah, yaitu mengganti sistem
ekonomi konvensional menjadi sistem ekonomi syariah. Ekonomi syariah telah
menjadi alternatif yang lebih berkeadilan sebagai pengganti sistem keuangan
sosialis dan kapitalis. Meskipun dalam praktiknya, ekonomi syariah dilaksanakan
berdasarkan prinsip-prinsip hukum syariah dalam Islam, namun ia dapat
dipraktikkan oleh seluruh pelaku ekonomi dunia.
Jadi,
perekonomian tanpa adanya riba itu bisa dicapai, yaitu dengan cara mengganti
sistem ekonomi konvensional menjadi syariah. Meskipun banyak negara di dunia
ini yang memiliki penduduk mayoritas muslim, bukan tidak mungkin perekonomian
dengan sistem syariah tidak dapat diterapkan. Setiap negara bisa menerapkan
sistem ekonomi syariah, namun untuk mencapainya bukanlah perkara mudah.
Referensi:
Mankiw N,
Gregory, dkk. 2012. Pengantar Ekonomi Makro. Jakarta: Salemba Empat
Sumber gambar: pixabay.com
Komentar
Posting Komentar